“September Hitam: Menolak Lupa, Menolak Diam – Jejak Pelanggaran HAM Dibedah, Sejarah Diluruskan”
BERITA FSH, Teater Lt. 2 - Dalam rangka memperingati September Hitam, LSO Ampuh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta menyelenggarakan Seminar dan Diskusi Publik bertajuk "September Hitam: Jejak yang Diperdebatkan dalam Bayang-Bayang Penulisan Ulang", bertempat di Teater FSH lantai 2. Acara ini menjadi ruang refleksi mendalam atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia dan upaya manipulasi sejarah oleh rezim berkuasa.
Menghadirkan narasumber dari berbagai latar belakang akademisi, ahli hukum, aktivis HAM, hingga sejarawan diskusi ini menggugah kesadaran kolektif generasi muda agar tidak menjadi korban amnesia sejarah dan tetap kritis terhadap praktik impunitas.
Dalam sambutannya, Ketua Pelaksana Alaudin Fathan Gazy menekankan pentingnya memperkuat suara publik terhadap isu-isu kemanusiaan. Hal senada juga disampaikan oleh perwakilan dari BEM STH Jentera, Distrik Berisik, dan Wakil Dekan III FSH, Prof. Kamarusdiana, M.A.
Dosen Hukum Tata Negara, Dr. Mufidah, M.H., membuka sesi pertama dengan menyoroti relasi erat antara hukum, keadilan, dan hak asasi manusia. Ia mengutip adagium hukum, “Meskipun langit runtuh, keadilan harus ditegakkan,” sebagai seruan moral untuk terus menggaungkan perjuangan HAM.
Ahli Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, membedah hukum sebagai produk sejarah yang dibekukan (frozen history), serta bagaimana praktik kekuasaan memanipulasi narasi hukum dan sejarah untuk melanggengkan impunitas. Ia secara kritis menyoroti isu-isu kontemporer seperti kebijakan otoriter, manipulasi kurikulum, dan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) sebagai bentuk kemunduran demokrasi.
Rian Fahardhi, aktivis dan pendiri Distrik Berisik dan Sekolah Tanah Air, menyuarakan pentingnya media sosial sebagai alat perlawanan bagi kelompok rentan. Ia juga menekankan peran pendidikan akar rumput dan jaringan komunitas untuk melawan pembungkaman dan membangun kesadaran HAM lintas generasi.
Sementara itu, Wilson Obrigados, sejarawan dan aktivis Aksi Kamisan, menyuarakan kekecewaan mendalam atas terpilihnya tokoh yang dituding terlibat pelanggaran HAM berat sebagai presiden. Ia menyebut hal ini sebagai “kekalahan sejarah” yang mengancam masa depan demokrasi Indonesia. Menurutnya, penyelesaian pelanggaran HAM harus dimulai dari pengakuan dan penempatan korban sebagai aktor utama dalam narasi sejarah.
Akhir acara dimeriahkan oleh sesi teatrikal musikalisasi puisi, orasi, dan drama yang menggambarkan penderitaan korban pelanggaran HAM dan harapan generasi muda. Ditutup dengan mengheningkan cipta, penyalaan lilin, dan tabur bunga, acara ini menjadi momen simbolik untuk mengenang mereka yang telah menjadi korban dan memperkuat janji untuk terus memperjuangkan keadilan.
Kegiatan ini tidak hanya menjadi ajang edukasi, tetapi juga penguatan moral dan spiritual bagi generasi muda untuk menjadi penjaga kebenaran dan keadilan. Dalam dunia yang semakin dikuasai oleh narasi buatan penguasa, seminar ini menegaskan bahwa sejarah yang jujur dan perjuangan HAM tidak boleh dikompromikan. Muda bukan berarti diam. Muda adalah saatnya bersuara.[NA]