SEMAKIN MUDAH MENDAPATKAN SERTIFIKAT HALAL
Oleh : Al Ahsan Sakino (Alumni Program Studi Hukum Keluarga)
Indonesia merupakan suatu negara yang berdasarkan hukum, sebagaimana yang tertuang dalam Undang-undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 1 Ayat 3 yang berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Menurut Prof. Jimly Asshiddiqie, Dalam konsep Negara Hukum ini, diibaratkan dalam sebuah perang Hukum merupakan panglima dalam dinamika peperangan tersebut, bukan politik maupun ekonomi yang menjadi komado dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Oleh karenanya hukum memiliki peran penting dalam memajukan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Semakin berkembangnya zaman dan teknologi melahirkan situasi sosial baru di dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Untuk mengimbangi hal tersebut Indonesia sebagai Negara hukum perlu menyikapi hal tersebut dengan melahirkan produk-produk yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada, guna memberikan keamanan dan kenyamanan terhadap rakyatnya, khususnya dalam aspek perdagangan.
Sebagai negara yang mayoritas rakyatnya memeluk agama Islam, Indonesia melahirkan Produk Hukum berupa “Undang-undang (UU) No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal” sebagai bentuk kewajiban Negara dalam memberikan perlindungan dan jaminan tentang kehalalan produk yang dikonsumsi masyarakat. Sayangnya dalam pemberlakuan UU tersebut mengalami pro dan kontra khususnya oleh para pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UKM).
Dalam Pasal 4 UU No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal menyatakan bahwa “Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal” bagi para pelaku usaha yang sudah mengantongi sertifikat halal atas produknya dapat meningkatkan eksistensi produk yang dijual karena mencerimankan tingkat keamanan dan kenyaman yang unggul dibandingkan produk-produk yang belum bersertifikat halal, akan tetapi UU ini dapat menganggu eksistensi mayoritas pelaku UKM.
Mayoritas Pelaku UKM mengalami berbagai kendala dalam memperoleh sertifikat halal tersebut, dalam penelitian yang dilakukan didaerah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) setidaknya ada 56,7% UKM yang tidak memiliki sertifikat halal, setidaknya ada 5 faktor yang menghambat UKM tersebut dalam memperoleh serifikat halal, (Maryati T, dkk. 2016: 366) yakni;
- Izin Edar
- Uji Lab
- Kelengkapan Dokumen
- Mahal
- Rumit
Poin-Poin yang di ubah UU No. 11 Tahun 2021 Tentang Cipta Kerja Pasal 48 Sektor JPH atas UU No. 33 Tahun 2014 Tentang JPH
Sebagaimana telah disampaikan Penulis pada pembahasan-pembahasan sebelumnya, yakni sebagai negara hukum, Indonesia sudah sepatutnya Pemerintah peka dan responsif dalam perkembangan bernegara di dalam masyarakatnya. Oleh karenanya evaluasi dan pembaharuan atas suatu hukum perlu menjadi poin penting dalam pemerintahan. Agar hukum dapat memberikan jaminan atas kenyaman dan keamanan bagi masyarakatnya. lahirnya UU No. 11 Tahun 2021 Tentang Cipta Kerja Pasal 48 sektor JPH yang mengamandemen UU No.33 Tahun 2014 Tentang JPH, merupakan bentuk responsif dan kepedulian pemerintah terhadap perkembangan para pelaku UMK, berikut penulis sampaikan beberapa poin-poin yang memiliki pengaruh besar dalam memudahkan para pelaku usaha UMK di Indonesia. A. Status Pada pasal 4 UU No 33 Tahun 2014 pelaku UKM wajib bersertifikat halal sedangkan di dalam UU Cipta Kerja UKM cukup memberikan pernyataan bahwa proses produksi dan produk yang ditawarkan sudah sesuai dengan standarisai yang telah ditetapkan BPJPH dan dapat digolongkan sebagai produk halal yang menandakan sertifikat halal tidak wajib lagi untuk UKM. B. Pola Kerjasa dengan Lembaga Lain- MUI (Majelis Ulama Indonesia)
- Pada pasal 10 hubungan Kerjasama antara BPJPH dan MUI pada UU Cipta Kerja memfokuskan wewenang MUI dalam penetapan prdouk halal dan menghapus 2 wewenang lainnya yakni sertifikasi Auditor Halal dan Akreditasi LPH (Lembaga Pemeriksa Halal)
- Pada pasal 32 dalam pembahasan hasil pemeriksaan. Apabila hasil pemeriksaan tidak sesuai dengan strandar BPJPH maka BPJPH akan meminta pertimbagan kepada MUI untuk menetapkan fatwa
- Selanjutkan pada pasal 33 dalam proses pemutusan Batas waktu diubah yang awalnya 30 (tiga puluh) hari kerja dipangkas menjadi 3 (tiga) hari kerja. Dan apabila dalam kurun waktu tersebut MUI tidak dapat memberikan keputusan maka BPJPH dapat langsung menerbitkan sertifikat halal sesuai yang diatur pada pasal tambahan pasal
- Dan untuk batas waktu penerbitan sertifikat halal yang mulanya 7 (tujuh) hari kerja dipangkas menjadi 1 (satu) hari kerja sebagaimana perubahan pada pasal 35
- Pada pasal 13 pendirian LPH yang mulanya harus memiliki akreditasi dari BPJPH sekarang sudah tidak perlu lagi
- Setelah dokumen dinyatakan lengkap yang mulanya proses penetapan LPH diberikan batas waktu 5(lima) hari dipangkas menjadi 1 (satu) hari kerja sebagaimana diatur pada pasal 30.
- Pada pembahasan pemeriksaan dan pengujian pada pasal 31, pihak LPH ditetapkan memiliki batas waktu 15 (lima belas) hari kerja akan tetapi apabila pada prosesnya mendapati pahan yang diragukan kehalalnya, LPH dapat mengajukan penambahan waktu untuk dilakukannya pengujian
- Pada pasal 32, hasil pemeriksaan oleh LPH dikirimkan kepada MUI dengan tembusan yang kirimkan kepada BPJPH, yang awalnya hanya dikirmkan kepada Hal ini mengefisiensi waktu dalam proses penetepan status (halal atau tidak) terhadap hasil pemeriksaan.
- Ada penambahan pasal 35A yang mengatur LPH harus memenuhi batas waktu yang telah ditentukan dalam porses sertifikasi halal, apabila LPH tidak memenuhi maka LPH akan dievaluasi dan/atau sanksi
- Dan selanjutnya untuk Auditor Halal tidak perlu lagi mengantongi serifikat dari MUI yang diatur pada pasal
- Pada pasal 28 penyelia membahas sampai pada tingkat UKM yang mulanya hanya sampai pada tingkat perusahaan dan jugapenyelia untuk UKM bisa langsung dari organisasi
- Selanjutnya pada pasal 53, UU Cipta Kerja menambah peran serta masyarakat khususnya dalam pendampingan, publikasi dan