Respons RUU PKS, Kekerasan atau Zina?
R. Teater Lt. 4 FSH, Berita FSH Online - Program Studi Hukum Pidana Islam (HPI) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta angkat isu kekerasan seksual pada kegiatan Stadium General, Selasa, (23/4). RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tengah ramai dibahas setelah ditolak lewat petisi online karena dianggap mendukung kegiatan zina. Petisi penolakan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dibuat oleh Maimon Herawati dengan judul "Tolak RUU Pro Zina".
Kegiatan ini menghadirkan Rifma Ghulam Dzaljad yang merupakan Tenaga Ahli Badan Legislasi DPR RI. Ia menyampaikan dalam rentang waktu 2001-2011, kasus kekerasan seksual rata-rata mencapai 1/4 dari kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan. Kasus kekerasan seksual yang dilaporkan meningkat setiap tahunnya, bahkan pada tahun 2012 meningkat 181% dari tahun sebelumnya. Dalam 3 tahun terakhir (2013-2015) kasus kekerasan seksual berjumlah rata-rata 298.224 per tahun. Komnas Perempuan menyimpulkan setidaknya 2 orang perempuan menjadi korban kekerasan seksual dalam setiap 3 jam.
Rifma juga menambahkan dengan hadirnya RUU kekerasa seksual bertujuan melakukan pencegahan terhadap terjadinya peristiwa kekerasan seksual mengembangkan dan melaksanakan mekanisme penanganan, perlindungan, dan pemulihan yang melibatkan masyarakat dan berpihak pada korban, agar korban dapat melampaui kekerasan yang ia alami dan menjadi seorang penyintas, memberikan keadilan bagi korban kejahatan seksual, melalui pidana dan tindakan yang tegas bagi pelaku kekerasan seksual; serta menjamin terlaksananya kewajiban negara, peran keluarga, partisipasi masyarakat, dan tanggung jawab korporasi dalam mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual.
Namun, ada beberapa catatan terkait kehadiran RUU ini, yaitu RUU PKS menimbulkan pro-kontra di masyarakat, RUU PKS dalam saat ini pembahasan, yakni memasuki proses pembicaraan tingkat I di Komisi VIII, komisi baru mengagendakan RDPU dan Raker, dan target prioritas Komisi VIII lebih pada penyelesaian RUU Pekerja Sosial dan RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan, jelasnya lagi.
Selain itu, turut hadir sebagai narasumber Zafrullah Salim Wakil Direktur Jimmly School Law & Government (JLG) menegaskan beberapa catatan mengenai RUU PKS ini yakni konsideran menimbang perlu perbaikan landasan filosofis dan sosiologisnya, konsideran belum memasukkan pertimbangan nilai agama dan budaya. Menurutnya RUU PKS justru menonjolkan aspek ketimpangan relasi kuasa dan gender dengan pendekatan paradigma konflik, imbuhnya.
Kekerasan seksual merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, semestinya dengan data darurat kekerasan seksual, RUU lebih tegas mengatur atau sebagai lex specialist tindak pidana kejahatan seksual, tegasnya.
Nurul Irfan Ketua Prodi HPI yang juga menjadi narasumber menyampaikan, stadium general ini dilaksanakan saat penolakan terhadap RUU PKS ini semakin kontroversi di kalangan masyarakat yang disebabkan oleh petisi online “Tolak RUU pro Zina”, RUU PKS yang dianggap mendukung zina ini terus menimbulkan dukungandari masyarakat luas, padahal maksud dari RUU PKS ini memiliki tujuan yang baik untuk memberikan perlindungan kepada setiap warga negara, khususnya perempuan dan anak dari kekerasan seksual yang semakin merajarela di sekitar kita.
Kegiatan ini di buka oleh Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Yayan Sopyan, dalam sambutannya ia menyampaikan, pada dasarnya kegiatan stadium general merupakan kuliah tambahan diluar kelas, terlebih tema yang diangkat adalah respon dari isu-isu yang sedang hangat di negeri ini.
Di tempat yang berbeda Dekan FSH UIN Jakarta, Ahmad Tholabi Kharlie, menegaskan stadium general yang diselenggarakan oleh Prodi HPI sangat menarik, mengingat kontroversialnya RUU PKS ini di kalangan masyarakat akibat petisi online yang menganggap bahwa RUU PKS merupakan Undang-Undang yang mendukung zina, ”Membedah RUU PKS ini tepat dilakukan guna membangun sikap kritis mahasiswa hukum terhadap yang terjadi di lingkungan sekitarnya”, ungkapnya. [] DP