Pak Thoralf dan Bu Esie, Terima Kasih
BERITA FSH, Berlin –
Workshop Pengembangan Kebijakan dan Program Kampus Hijau Pimpinan Perguruan Tinggi diselenggarakan di Berlin selama lima hari, 18 - 22 November 2024. Peserta sebanyak 13 orang berasal dari UIN Jakarta, UIN Padang, dan IAIN Kudus. Peserta menginjakan kaki di Bandara Berlin Bunderberg hari Ahad pagi 17 November. Peserta mengikuti kegiatan di empat Universitas terkemuka di Jerman, Tiga Pusat Studi, dua perpustakaan, kantin, dan kunjungan lapangan ke hutan kota.
Kegiatan tersebut terbilang sukses besar. Selain beberapa lokasi tersebut, delegasi dapat pengalaman langsung Program kampus hijau dan Program berkelanjutan dan juga yang terpenting membangun kerja sama dan kolaborasi. Serangkaian catatan dan kesimpulan telah dirumuskan dan disiapkan untuk ditindaklanjuti setibanya di kampus masing-masing.
Kesuksesan besar tersebut tidak lepas dari peran dua pasangan yang kompak Pak Thoralf dan Esie Hanstein. Pak Thoralf adalah pustakawan di Perpustakaan Nasional Berlin dan ahli hukum Islam terutama bidang waris dan hukum keluarga yang juga menguasai koleksi manuskrip nusantara dan Ibu Esie dosen dan peneliti di Pusat Kajian Asia dan Afrika Universitas Humboldt. Keduanya merencanakan, menyiapkan, dan mengkoordinasikan kegiatan selama di Jerman. Atas peran Keduanya, pejabat dan tokoh penting di tempat yang dikunjungi dapat menerima dengan baik dan menyambut kolaborasi. Atas jasanya pula, peserta dapat penjelasan yang detil tentang pengelolaan kantin di Universitas Humboldt yang bersih, higenis, berbasis teknologi, dan kapitalisasi yang besar. Saking padat dan serius, Bu Esie pernah berseloroh "mau kerja atau foto" untuk merespon salah satu peserta yang tidak berkesempatan untuk foto dengan narasumber.
Di sisi lain, Pak Thoralf dan Bu Esie layak mendapat julukan pemandu yang sabar. Betapa tidak. Sejak berangkat dan hingga pulang, Keduanya mendampingi dan menuntun serta menunjukkan bagaimana naik transportasi umum. Ingat ya kalau di Jerman mau menuju ke suatu tempat dengan transportasi umum bisa berganti dari bus ke trum, kereta, atau under train. Terlihat Keduanya sangat profesional dan berpengalaman dalam mendampingi peserta. Dan yang terpenting sabar. Tak satupun peserta yang tertinggal dari rombongan apalagi hilang di stasiun.
Selama program, selain kekompakan, Pak Thoralf dan Bu Esie memperlihatkan pasangan yang humoris dan mesra. Yayang, dengan logat khas bule, adalah panggilan kasih sayang pak Thoralf ke Bu Esie. Hanya itu panggilan yang pernah peserta dengar. Tidak ada yang lain. Sebaliknya, Bu Esie sering menyapa pak Thoralf dengan Mas, Sayang, Suamiku. Dalam beberapa hal, mereka berbagi peran. Bu Esie di bagian belakang peserta agar tidak ada peserta yang tercecer dan Pak Thoralf di bagian depan peserta supaya tidak tersesat. Di kesempatan lain, Pak Thoralf mendampingi satu kelompok rombongan dan bu Esie dengan kelompok rombongan lain. Maklum dua rombongan itu punya selera makan dan suvenir yang berbeda. Dalam beberapa hari, Keduanya mendampingi hingga larut malam. Karena peserta merasa tidak enak dengan Keduanya, maka peserta menyilahkan mereka untuk pulang duluan. Atas dasar tanggung jawab, Pak Thoralf dan Bu Esie bertanya kepada peserta: “sudah yakin tidak nyasar?”. “Tahu lokasi bus stop nya?”. Sambil menunjukkan arah, Pak Thoralf ingin memastikan tidak apa-apa setelah peserta ditinggal pulang.
Tidak sedikit Pak Thoralf dan Bu Esie menunjukkan adegan kemesraan dan kasih sayang. Pada acara puncak, seminar dan penampilan lagu oleh bu Esie dan instrumen piano, terekam kejadian itu. Sebelum acara mulai, Bu Esie sempat akan membuka dan memainkan piano besar tersebut. Dari kejauhan di bawah panggung, Pak Thoralf berseloroh pelan "jangan yayang". Bu Esie masih mencoba akan membuka piano tersebut. "Jangan yayang”. “Jangan". Seloroh ulang Pak Thoralf. Bu Esie masih duduk di kursi piano, tak beranjak. Diam sejenak. Tampak raut muka kecewa. Saya (Muhammad Maksum), sebagai salah satu delegasi melihat peristiwa itu sebagai bentuk kasih sayang. Sebuah cinta tidak selalu ditunjukkan dengan memberi. Terkadang melarang adalah bukti kasih sayang yang tinggi. Menurut bu Esie, larangan tersebut disebabkan setiap pemain piano, terutama para pemain piano yang terkenal, sangat "mensakralkan" alat musik yang akan dimainkannya dan kurang senang jika disentuh seseorang duluan. Jika pemain piano telah usai, maka tidak ada larangan untuk mencobanya. Karena itu, Pak Thoralf mewanti-wanti bu Esie untuk tidak memainkannya. Sekali lagi terima kasih Pak Thoralf dan Bu Esie.[MM]