Menakar Cita Pilkada Secara Tidak Langsung Dalam Masa Pandemi
Menakar Cita Pilkada Secara Tidak Langsung Dalam Masa Pandemi
Oleh : Alif Fachrul Rachman (Mahasiswa Program Studi Perbandingan Madzhab) Dalam salah satu orasi politiknya, Abraham Lincoln mengungkapkan tesisnya yang cukup fundamental mengenai filsafat demokrasi yakni “democracy, is a government, from the people, by the people, and for the people”. Melalui ungkapan tersebut berbagai konsep dan teori mulai bermunculan untuk menterjemahkan dimensi demokrasi, agar senada dan senafas dengan filsafat tersebut. Mulai dari adanya konsep one man on vote hingga demokrasi berbasis keterwakilan. Indonesia misalnya menterjemahkan filsafat demokrasi tersebut, melalui pemilihan pemimpin (presiden dan wakil presiden) serta wakil rakyat (DPR, DPD, DPRD) dengan menggunakan konsep one man on vote, hal demikian didasari karena konsep tersebut dianggap paling demokratis karena melibatkan rakyat secara langsung, serta didukung dengan prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (luber jurdil). Konsep demikian, tidak terlepas dari rezim otoritarianisme yang pada kala itu dinilai sempat membajak prinsip-prinsip demokrasi melalui konsep keterwakilan baik terhadap pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah. Lebih lanjut dewasa ini, dalam konteks pemilihan kepala daerah di Indonesia, komisi Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara resmi berdasarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) Nomor 2 Tahun 2020 menunda pemilihan kepala daerah (pilkada). Penundaan tersebut didasari pada alasan kondisi nasional dan global yang sampai saat ini belum secara pasti terbebas dari wabah covid-19. Secara normatif, berdasarkan ketentuan Perppu tersebut, dalam Pasal 201A, menyatakan bahwa penundaan pemungutan suara serentak dilakukan hingga bulan desember 2020. Lebih lanjut, Dalam hal pemungutan suara serentak tidak dapat dilaksanakan, maka pemungutan suara ditunda dan akan dijadwalkan kembali dengan segera setelah bencana non-alam berakhir. Yang kemudian berdasarkan Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara pemerintah, DPR dan KPU (27 Mei 2020), telah disepakati bahwa pemungutan suara serentak akan diselenggarakan tepat pada tanggal 9 Desember 2020. Pada kesempatan yang sama juga, kesimpulan RDP tersebut memuat bahwa bahwa perlu dilakukan revisi atas Peraturan KPU tentang jadwal, program dan tahapan, dimana tahapan lanjutannya dimulai pada 15 Juni 2020, dengan syarat bahwa seluruh rangkain kegiatan harus didasari pada protokol kesehatan dan berkoordinasi dengan gugus tugas berdasarkan prinsip demokrasi. Persoalan yang hadir kemudian adalah tentu berdasarkan syarat kondisional dan sekuensial tersebut, maka pilkada dapat diselenggarakan dengan catatan mengikuti protokol kesehatan yang ketat dalam rangka menjaga hak konstitusional warga negara dalam memilih dan dipilih. Kendati demikian, namun di sisi lain hal yang perlu diperhatikan ialah argumentasi yang menolak pilkada tetap dilaksanakan dalam masa pandemi dengan alasan kemanusiaan, hal ini ditandai hingga sampai saat ini penularan terhadap virus corona semakin meningkat. Sehingga berdasarkan post factum diatas, diperlukan kecermatan, keakuratan dan ketelitian didalam merumuskan sebuah peristiwa dan realita keadaan kedalam sebuah kebijakan, agar sikap yang di ambil bernilai progresif dan mencerminkan kemaslahatan ditengah masyarakat. Mungkinkah Pilkada Secara Tidak langsung? Pemilihan kepala daerah sebagaimana yang diputuskan oleh MK melalui Putusan No.97/PUU-XI/2013 bukanlah bagian dari rezim pemilihan umum. Lebih lanjut, menurut Mahkamah Konstitusi, makna orisinalitas dari pemilihan secara demokratis dalam pemilihan kepala daerah tidaklah harus selalu dipersamakan dengan Pemilihan umum melalui konteks "one man one vote", melainkan dapat menggunakan pendekatan yang tidak menghilangkan esensi dari demokrasi tersebut, termasuk dalam hal ini adalah pemilihan kepala daerah (pilkada) secara tidak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Bahkan sejatinya, esensi pemilihan kepala daerah secara tidak langsung didasari pada geo politik daerah, serta sosio kultur yang majemuk, dan memiliki nilai demokratis yang terbalut sesuai dengan kearifan lokal itu sendiri, yang lebih mengedepankan nilai-nilai permusyawaratan mufakat. Melihat nilai yang terpancar dari konsep tersebut, hemat penulis perlu kiranya mempertimbangkan formula pilkada secara tidak langsung dalam masa pandemi covid-19. Sebab jika tetap memaksakan pilkada secara langsung dan menafikkan factor lainnya dalam hal ini kesehatan tentu hal tersebut tidak dapat dibenarkan. Sehingga hemat penulis, mekanisme yang dapat ditawarkan dalam melakukan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara tidak langsung yaitu dilakukan dengan penambahan formula yang tidak sama persis layaknya pemilihan kepala daerah pada zaman orde baru. Konsepsi yang dapat ditawarkan adalah melalui lelang jabatan, yang dilakukan dengan uji publik, uji kelayakan oleh panel dari lokalitas tersebut yang ditentukan persyaratannya oleh Presiden (tanpa unsur partai politik). Tentunya ini membutuhkan proses pengawasan dari berbagai lembaga penegak hukum dan keterbukaan informasi yang memadai. Dan dari hasil panel tersebut, barulah diberikan 3 bakal calon kepada DPRD yang selanjutnya dilakukan musyawarah dan/atau voting (jika tidak mancapai kata mufakat). Hal ini tiada lain adalah sebagai langkah alternatif dari upaya memaksakan pemilihan kepala daerah secara langsung. Sebab demokrasi tidak hanya berbicara mengenai bentuk, melainkan substansi (Jimly Ashiddiqie). Berdasarkan uraian diatas hemat penulis, perlu kiranya merefleksikan kembali seprihan pemikiran Ir. Soekarno yang mengungkapkan bahwa syarat mutlak untuk kuatnya negara indonesia ialah permusyawaratan perwakilan. Postulat demikian menggambarkan bahwa demokrasi esensi sejatinya ialah untuk mencapai kata permusyawaratn perwakilan, yang didalamnya dinaungi pancaran pri- kerakyatan yang tergambarkan dalam kemajmukan budaya, dan kultur ketimuran. Sehingga adanya pemilihan kepala daerah secara tidak langsung merupakan upaya negara dalam menciptakan pemimpin pemimpin berdasarkan nilai keluhuran masyarakat yang plural dan majmuk demi mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Tentu hal ini merupakan bentuk dari bagaimana kita menakar cita pilkada secara tidak langsung dalam masa pandemi.