Ambisi Seorang Mamdani: Akankah New York Menjadi City of Diplomacy dalam Isu Hak Asasi Manusia dan Kesejahteraan Sosial?
Ambisi Seorang Mamdani: Akankah New York Menjadi City of Diplomacy dalam Isu Hak Asasi Manusia dan Kesejahteraan Sosial?

Dyah Ayu Deliyanthi S.H.

dyahadeliyanthi291@gmail.com

 

Terpilihnya Zohran Mamdani sebagai Walikota New York City pada 4 November 2025 menandai sebuah titik balik dalam sejarah politik Amerika Serikat. Di usia 34 tahun, Mamdani menjadi wali kota termuda, sekaligus Muslim dan keturunan Asia Selatan pertama yang memimpin kota terbesar di Amerika. Pemilu ini merupakan salah satu pertarungan paling kompetitif yang pernah terjadi di kota New York ini dalam lebih dari satu dekade, sebuah fakta yang didasarkan pada partisipasi pemilih dan minat tingginya. Menurut Dewan Pemilihan Kota New York , kurang dari dua juta orang telah menggunakan hak pilihnya sejak 1969. Mamdani meraih hasil terbaik di Brooklyn dari enam wilayah pemilihan. Namun kemenangan ini bukan sekadar pergantian figur politik ia adalah refleksi dari perubahan mendasar dalam cara Amerika memaknai hak asasi manusia, representasi politik, dan arah hukum internasionalnya di masa depan.

Sepanjang sejarahnya, kota New York menjadi simbol kebebasan dan pluralisme, tempat di mana imigran dari seluruh dunia mencari kehidupan yang lebih baik. Oleh karena itu, terpilihnya Mamdani memperkuat citra tersebut, menghadirkan wajah baru bagi demokrasi Amerika yang tengah diuji oleh polarisasi ideologis dan meningkatnya diskriminasi berbasis agama serta ras. Dalam konteks HAM, kemenangan ini dapat dimaknai sebagai kemenangan hak yang setara dalam politik hak asasi setiap warga, tanpa memandang latar belakang etnis, agama, atau status ekonomi, untuk berpartisipasi dalam pemerintahan dan menentukan arah kebijakan publik. Oleh karena itu, kemenangan ini menegaskan kembali citra ideal demokrasi Amerika dan menandai kemenangan signifikan bagi prinsip kesetaraan HAM, menunjukkan bahwa hak politik yang setara mengatasi polarisasi dan diskriminasi rasial atau agama.

Secara substansial, kemenangan Mamdani adalah implementasi nyata dari Pasal 21 Universal Declaration of Human Rights (UDHR), yang menjamin hak setiap orang untuk turut serta dalam pemerintahan negaranya. Dalam konteks Pemilihan Walikota baru New York-Amerika, hal ini menjadi penegasan kembali atas nilai-nilai konstitusional yang selama ini dijunjung tinggi, yakni equality before the law dan freedom from discrimination. Karena sangat menekankan pentingnya kesetaraan dalam segala kebijakan dan melarang diskriminasi berdasarkan ras, agama, warna kulit, status sosial dan jenis kelamin.
Namun, kemenangan ini juga menyingkap sisi lain dari perjalanan panjang HAM di Amerika. Meskipun negara ini sering menjadi pengusung prinsip demokrasi dan kebebasan di forum internasional, masih terdapat persoalan struktural di dalam negeri mulai dari profiling terhadap Muslim, kebijakan imigrasi yang ketat, hingga ketimpangan ekonomi yang berdampak pada akses terhadap hak-hak dasar. Mamdani, dengan latar belakang aktivisme sosial dan politik progresifnya, menantang sistem lama yang kerap mengabaikan suara kelompok rentan. Oleh karena itu, kemenangan Mamdani dipandang sebagai mandat kuat untuk mewujudkan perubahan substantif melalui agenda politiknya yang berfokus pada pemberantasan diskriminasi struktural dan penciptaan kesetaraan akses terhadap hak-hak dasar bagi semua warganya.

Agenda politik Mamdani berakar kuat pada ideologi sosialisme demokratis, yang secara langsung berupaya melawan krisis keterjangkauan hidup yang dialami banyak warga New York. Usulan utama seperti pembekuan harga sewa bagi unit-unit stabilisasi sewa bertujuan untuk melindungi jutaan penyewa dari kenaikan harga yang eksploitatif. Selain itu, janji transportasi publik gratis (khususnya bus) dan penciptaan jaringan toko grosir milik kota yang beroperasi nirlaba, merefleksikan pendekatan yang berani untuk menjadikan kebutuhan dasar perumahan, mobilitas, dan pangan sebagai hak publik, bukan hanya komoditas pasar. Kebijakan ini secara kolektif menunjukkan komitmen Mamdani untuk menggunakan intervensi pemerintah guna mengurangi ketimpangan ekonomi dan sosial serta menjamin bahwa keuntungan kota dinikmati secara merata oleh semua penduduknya.

Dalam kerangka HAM, kebijakan-kebijakan tersebut sejalan dengan hak atas standar hidup yang layak sebagaimana diatur dalam International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) yang meskipun belum diratifikasi penuh oleh AS, tetap menjadi acuan moral dalam praktik internasional. Dengan demikian, Mamdani tidak hanya memperjuangkan hak sipil dan politik, tetapi juga mengangkat dimensi HAM yang sering diabaikan oleh politik liberal klasik Amerika: hak sosial-ekonomi dan hak untuk hidup bermartabat. Sehingga, bukan sekedar membuat perubahan lokal, melainkan sebuah isyarat transformatif yang menantang politik luar negeri dan domestik Amerika yang kontradiktif.

Selama dua dekade terakhir, politik luar negeri Amerika kerap dipenuhi kontradiksi: di satu sisi mengampanyekan demokrasi dan HAM, tetapi di sisi lain melakukan intervensi militer dan kebijakan luar negeri yang tidak selalu sejalan dengan prinsip tersebut. Dalam konteks ini, munculnya pemimpin seperti Mamdani dapat memberi pengaruh simbolik yang besar. Ia merepresentasikan wajah Amerika yang baru yang lebih plural, lebih empatik, dan lebih sadar terhadap tanggung jawab moralnya dalam menjaga tatanan global berbasis kemanusiaan. Oleh  karena itu, Jika kebijakan sosial dan keberpihakannya terhadap kelompok lemah berhasil diimplementasikan di New York, maka “diplomasi kota”(city of diplomacy) bisa menjadi instrumen baru dalam politik hukum AS. Kota seperti New York memiliki kapasitas untuk menjalin kerja sama internasional di bidang HAM, iklim, migrasi, dan keadilan sosial, bahkan ketika kebijakan federal bersikap lebih konservatif.

Meskipun kebijakan progresif yang diusung oleh Mamdani menawarkan harapan baru, realitas politik Amerika Serikat tetap memiliki tantangan besar. Ia akan menghadapi perlawanan keras dari pemerintahan federal AS yang saat ini dikuasai kelompok konservatif. Hal ini bisa memicu perpecahan hukum (fragmentasi), di mana aturan progresif tingkat kota (seperti pembekuan sewa) akan bertabrakan dengan sistem hukum federal yang kaku dan berorientasi kapitalis. Secara global, situasi ini menciptakan dilema bagi citra Amerika. Dunia akan melihat apakah AS benar-benar akan memimpin dengan nilai HAM universal (seperti yang dijanjikan Mamdani), atau hanya akan kembali memilih kepentingan politik dan ekonomi pragmatisnya saja.

Oleh karena itu, keberhasilan Mamdani dalam membangun tata kelola kota yang adil dan inklusif bukan hanya ujian domestik, tetapi juga ujian terhadap komitmen moral Amerika yangmana akan menjadi model kepemimpinannya sebagai contoh dan bukan pengecualian, sehingga sangat penting bagi kredibilitas AS sebagai pembela nilai kemanusiaan di dunia. Lebih jauh lagi, kemenangan ini membuka kemungkinan bagi politik Amerika untuk kembali berakar pada prinsip universalisme HAM, bukan semata pada kepentingan nasional yang pragmatis. Dengan kepemimpinan yang merepresentasikan keragaman dan empati sosial, AS berpotensi menata ulang citranya di dunia internasional: dari kekuatan hegemonik menuju kekuatan moral yang memimpin melalui keteladanan.